Jumat, 29 Agustus 2014
Browse Manual »
Wiring »
dari
»
Palestina
»
Surat
»
Surat Dari Palestina
Kakak, bagaimana menu sahurmu pagi tadi? Apakah Kakak suka? Atau malah sebaliknya, kau sisakan makanan di piring makanmu karena engkau tak selera? Padahal, apa Kakak tahu? Untuk dapat makan, aku harus menunggu di antrean panjang, karena persediaan makanan pun kami tak punya.
Kakak, kenapa Kakak sulit dibangunkan shalat malam? Apakah malammu terlalu indah? Ataukah tidurmu terlalu nyenyak? Kakak, tak ingatkah engkau untuk doakan aku? Minimal satu kali dalam sehari, engkau sebut aku dalam lantunan doamu. Doakan aku agar aku masih mampu menyongsong hari esok dan merasakan sejuknya udara di pagi hari, lagi dan lagi. Karena aku juga punya mimpi yang harus aku kejar esok hari, sama sepertimu.
Kakak, kenapa kamu begitu loyo dalam bekerja? Apa gajimu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu? Atau mungkin engkau mulai tidak betah dengan nyamannya hidupmu itu? Coba lihat aku, aku lihat dengan mata kepala sendiri satu persatu saudaraku dipukuli, ditembaki, ditampar, dibakar, dipenggal. Pemandangan itu sudah jadi santapanku sehari-hari. Dan aku telah bersiap untuk semua itu. Tapi aku tetap tegar.
Kakak, kenapa waktumu engkau sia-siakan begitu saja? Engkau banyak berkhayal, duduk manis membuang waktumu di depan layar komputermu. Adakalanya kau dendangkan musik di kala bosan untuk sekedar membunuh waktu senggangmu. Atau bahkan engkau mainkan games di layar gadget-mu sambil tertawa, atau mengumpat tiba-tiba jika engkau kalah. Tidakkah engkau sadar terkadang aku juga ingin? Tapi apa daya, tank baja raksasa itu memakan lahan bermain aku dan teman-temanku. Bahkan tak jarang letupan senjata yang memekakkan telinga itu diarahkan untuk merusak tempat tinggalku. Kakak, aku mau tinggal di mana?
Kakak, kudengar sesekali engkau mengeluh dengan suhu kamarmu yang terkadang membuat gerah. Kakak, maukah engkau sejenak bertukar tempat denganku? Kini, terik matahari adalah selimut siangku, dinginnya angin malam adalah mantel tidurku. Aku tidak punya tempat yang layak, Kak. Mereka telah mengambilnya dari kami.
Kakak, dalam beberapa waktu ke belakang, sudah berapa lama engkau bertamasya? Sudah berapa sering engkau ke bioskop untuk menonton film baru? Kakak, mengertilah. Puasaku saja kadang tak disambut dengan berbuka, untuk kusambung di hari berikutnya. Aku tidak punya makanan, Kakak. Aku juga mau roti gandum dipadu susu, atau sereal cokelat yang sering engkau santap di pagi hari.
Kakak, pernahkah engkau berpikir untuk menjengukku? Atau minimal engkau memikirkan aku? Di tanah ini, ribuan pasukan dan bala tentaranya telah mengepung kami dan siap membumihanguskan rumah-rumah kami. Jikapun di dunia kunikmati santap sahur, doakan aku agar surga menyambutku di kala berbuka jika memang takdir itu yang harus aku terima. Aku ikhlas, Kak. Inilah sekelumit bentuk perjuangan kami untuk mempertahankan tempat suci ini. Kakak, tak perlulah engkau datang ke sini. Aku hanya meminta kebaikan lisanmu untuk senantiasa doakan aku dan saudaraku. Doakan aku agar selalu bertahan, doakan aku agar hidupku yang singkat ini diliputi keberkahan.
Penggalan prosa di atas sengaja ditulis tangan, bukan oleh anak-anak tak berdosa di negeri seberang. Ini hanya sepetik ungkapan tentang gambaran, apa-apa yang dirasakan saudara-saudara kita di pelosok Gaza Palestina. Sebuah potret negeri yang terluka, yang jika kita cermati dengan logika mungkin dalam beberapa dekade hanya akan tinggal nama. Tapi tidak! Ingatkah kita tentang janji Tuhan kita? “Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya dan meninggikan kedudukannya…” (QS. Muhammad: 7). Sesungguhnya mereka yang telah syahid tidak akan pernah mati, mereka akan kekal dan bahagia di sisi Tuhannya. Adapun kini mereka yang masih berjuang menghadapi keganasan bala tentara, sungguh mereka adalah sebaik-baik tentara Allah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/07/14/54629/surat-kecil-dari-anak-palestina/#ixzz37VKeQBi0
Surat Dari Palestina
Kakak, apa kabarmu di negeri aman tenteram itu? Apa pagi ini Kakak sudah bergegas untuk bangun dan menjemput mimpi? Ataukah Kakak masih terlelap di pembaringanmu yang nyaman? Kakak, aku di sini tidak bisa tidur. Di sini dingin, tak ada selimut hangat seperti yang tengah engkau kenakan.
Kakak, bagaimana menu sahurmu pagi tadi? Apakah Kakak suka? Atau malah sebaliknya, kau sisakan makanan di piring makanmu karena engkau tak selera? Padahal, apa Kakak tahu? Untuk dapat makan, aku harus menunggu di antrean panjang, karena persediaan makanan pun kami tak punya.
Kakak, kenapa Kakak sulit dibangunkan shalat malam? Apakah malammu terlalu indah? Ataukah tidurmu terlalu nyenyak? Kakak, tak ingatkah engkau untuk doakan aku? Minimal satu kali dalam sehari, engkau sebut aku dalam lantunan doamu. Doakan aku agar aku masih mampu menyongsong hari esok dan merasakan sejuknya udara di pagi hari, lagi dan lagi. Karena aku juga punya mimpi yang harus aku kejar esok hari, sama sepertimu.
Kakak, kenapa kamu begitu loyo dalam bekerja? Apa gajimu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu? Atau mungkin engkau mulai tidak betah dengan nyamannya hidupmu itu? Coba lihat aku, aku lihat dengan mata kepala sendiri satu persatu saudaraku dipukuli, ditembaki, ditampar, dibakar, dipenggal. Pemandangan itu sudah jadi santapanku sehari-hari. Dan aku telah bersiap untuk semua itu. Tapi aku tetap tegar.
Kakak, kenapa waktumu engkau sia-siakan begitu saja? Engkau banyak berkhayal, duduk manis membuang waktumu di depan layar komputermu. Adakalanya kau dendangkan musik di kala bosan untuk sekedar membunuh waktu senggangmu. Atau bahkan engkau mainkan games di layar gadget-mu sambil tertawa, atau mengumpat tiba-tiba jika engkau kalah. Tidakkah engkau sadar terkadang aku juga ingin? Tapi apa daya, tank baja raksasa itu memakan lahan bermain aku dan teman-temanku. Bahkan tak jarang letupan senjata yang memekakkan telinga itu diarahkan untuk merusak tempat tinggalku. Kakak, aku mau tinggal di mana?
Kakak, kudengar sesekali engkau mengeluh dengan suhu kamarmu yang terkadang membuat gerah. Kakak, maukah engkau sejenak bertukar tempat denganku? Kini, terik matahari adalah selimut siangku, dinginnya angin malam adalah mantel tidurku. Aku tidak punya tempat yang layak, Kak. Mereka telah mengambilnya dari kami.
Kakak, dalam beberapa waktu ke belakang, sudah berapa lama engkau bertamasya? Sudah berapa sering engkau ke bioskop untuk menonton film baru? Kakak, mengertilah. Puasaku saja kadang tak disambut dengan berbuka, untuk kusambung di hari berikutnya. Aku tidak punya makanan, Kakak. Aku juga mau roti gandum dipadu susu, atau sereal cokelat yang sering engkau santap di pagi hari.
Kakak, pernahkah engkau berpikir untuk menjengukku? Atau minimal engkau memikirkan aku? Di tanah ini, ribuan pasukan dan bala tentaranya telah mengepung kami dan siap membumihanguskan rumah-rumah kami. Jikapun di dunia kunikmati santap sahur, doakan aku agar surga menyambutku di kala berbuka jika memang takdir itu yang harus aku terima. Aku ikhlas, Kak. Inilah sekelumit bentuk perjuangan kami untuk mempertahankan tempat suci ini. Kakak, tak perlulah engkau datang ke sini. Aku hanya meminta kebaikan lisanmu untuk senantiasa doakan aku dan saudaraku. Doakan aku agar selalu bertahan, doakan aku agar hidupku yang singkat ini diliputi keberkahan.
Penggalan prosa di atas sengaja ditulis tangan, bukan oleh anak-anak tak berdosa di negeri seberang. Ini hanya sepetik ungkapan tentang gambaran, apa-apa yang dirasakan saudara-saudara kita di pelosok Gaza Palestina. Sebuah potret negeri yang terluka, yang jika kita cermati dengan logika mungkin dalam beberapa dekade hanya akan tinggal nama. Tapi tidak! Ingatkah kita tentang janji Tuhan kita? “Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya dan meninggikan kedudukannya…” (QS. Muhammad: 7). Sesungguhnya mereka yang telah syahid tidak akan pernah mati, mereka akan kekal dan bahagia di sisi Tuhannya. Adapun kini mereka yang masih berjuang menghadapi keganasan bala tentara, sungguh mereka adalah sebaik-baik tentara Allah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/07/14/54629/surat-kecil-dari-anak-palestina/#ixzz37VKeQBi0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar